Sudah lama aku mengamati sebuah fenomena alam, sudah sejak remaja kuperhatikan dengan seksama “dedaunan yang menahan nafasnya”.
Dahulu, aku pernah mendapat sebuah cerita. Syahdan ketika sag surya bagun dari peraduannya tepat di hari pertama Idul Fitri, disitulah saat dimana semua unsur alam, manusia, binatang, tumbuhan dan alam semesta sejenak “hening cipta” dan tertunduk takjim atas hari yang amat keramat dan dihormati itu, utamanya umat muslim di seluruh muka bumi.
Bahkan sebuah lagu melantunkan lirik “dan daunpun menahan nafasnya” angin berhenti berhembus dan burungpun berhenti terbang sejenak.
Aku tidak tahu persis, apakah ini hanya sebuah mitology, legenda, atapun dongeng, dan sejak sat itu akupun mulai memperhatikan dan mencoba mencari tahu akan kebenaran cerita tersebut.
Pengamatanku yang pertama langsung memberi kesan “benar adanya”. Jam 07.00 pagi dimana segenap umat muslim berbondong ke Masjid untuk menunaikan shalat “Ied”, aku keluar rumah menatapi pohon-pohon dan suasana alam sekitar. Ya … daun-daun tak bergeming, angin tak bertiup sekalipun lirih, sinar surya hangat ramah, udara bersih cerah tak ada burung atau pun binatang lain tampak beraktifitas … … aku tertegun … takjub.
Pagi yang hening… nglanguut… segenap rasa nyaman dan tentram menyelimuti kalbu, sangat berbeda dengan hari-hari lainnya yang penuh ke-hiruk-pikukan hingar bingar. Sungguh …. Sebuah momen yang amat berharga dan patut disyukuri sebagai anugerah dari NYA.
Sebagai pribadi yang masih mentah, saat itu muncul berbagai pertanyaan dalam benakku, kira-kira apa yang menyebabkan itu? dan apa hubungannya Iedul Fitri dengan fenomena tersebut?, mengapa orang-orang itu harus pergi bersembahyang ke Masjid?, mengapa tiba-tiba wajah-wajah mereka beraura lembut dan ramah?, berbeda dengan keadaan sebelumnya. Senyum tulus, jabat tangan ikhlas mengukuhkan hari besar itu!..
Waktu terus berpacu, tahun demi tahun berlalu begitu cepat. Pengamatanku pada fenomena alam dan idul fitri tetap kulakukan, dan hingga saat ini fenomena itu tetap sama. Ketakjubanku juga tak berubah. Sejalan dengan semakin bertambahnya usia, sampailah aku pada sebuah “penafsiran” atas hubungan sebab akibat.
Barangkali memang ada kaitannya antara iklim dan kondisi alam semesta dengan sepak terjang perilaku manusia, interaksi antara dimensi mikro (manusia) dan dimensi makro (jagat semesta) begitupun sebaliknya.
Seringkali kita menyaksikan bencana alam berat maupun ringan melanda tanah air, tidak sedikit korban jiwa dan harta benda telah melarutkan kita pada derita dan sengsara, berapa banyak sudah darah tertumpah di bumi pertiwi ini, belum kering rasanya airmata duka tsunami di aceh dan gempa di Bantul, kini giliran Bengkulu dan Sumatera Barat dimakan gempa yang merusak sendi-sendi kehidupan.
Ada yang melihat melalui kacamata ilmiah teknologi bahwa bencana adalah fenomena wajar dari bumi yang senantiasa menggeliat dan merubah wajahnya dari jaman ke jaman. Ada yang melihat dari kacamata spiritual, bahwa Tuhan sedang murka oleh ulah manusia yang selalu berbuat dosa, ada yang menterjemahkan bencana secara metafisis, bahwa hubungan alam dengan manusia sudah tidak harmonis lagi. Dan masih banyak lagi perspektif manusia dengan tafsirnya sendiri sendiri.
Begitupun saat hari nan Fitri jatuh di hari pertama … alampun bagai bernafas lega ketika manusia berada dalam kondisi batin pada level terendah, dimana sikap amarah, angkara murka, dendam, iri, dengki, nafsu, kebencian dan berbagai sifat negatif lainnya secara sadar sejenak dilepaskan dan dibebaskan dari belenggu jiwa-jiwa terpenjara.
Kondisi batin demikian tersebut nyaris berlaku pada semua umat manusia pada saat yang sama. Hal ini berakibat pada situasi “panas” dimensi mikro manusia menurun drastis, sejuk, lembut dan bersahabat dimana pada akhirnya langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada dimensi makro alam semesta yang mereponnya dengan iklim yang bersahabat pula…. tenaaannng… hingga “daunpun menahan nafasnya” …..
Jika saja, setiap hari adalah hari yang fitri, jika saja setiap hari adalah hari yang penuh maaf dan ampunan, jika saja setiap hari adalah harinya seribu bulan “Lailatul Qodar”, jika sajaaa…
Rekan dan sahabat … ini hanyalah sebuah penafsiran dari keingintahuan sebuah jiwa yang miskin dan nyaris sekarat dimakan arus besar jaman, yang mencari Tuhan dengan caranya sendiri, cara yang bodoh, cara yang mungkin keliru dan sesat… menurut hukum dan nilai-nilai universal… Ya Tuhan … ampunilah aku orang berdosa.
SELAMAT IDUL FIRI
Tidak ada yang luar biasa dalam Blog saya. Sekedar ikut berpartisipasi agar nggak ketinggalan terlalu jauh dalam hal dunia maya. dan sekedar penyaluran NEG-UNEG saja. Semoga melalui media ini dapat saling berbagi dan bertukar pikiran serta pengalaman. terima kasih dan salam. (Urbanus M. Ambardi)
Jumat, 20 Agustus 2010
Kamis, 19 Agustus 2010
CERMIN RETAK (catatan perjalanan)
Dua orang anak usia sekitar 6-7 tahun berlarian membuntuti penumpang yang baru turun dan berjalan di jembatan bus way, lalu bernyanyi dibelakangnya dengan suara parau sumbang sambil memukul-mukulkan alat musik sederhana buatan sendiri dari kayu dan tutup botol, crek…kecrek, kecreek… begini syairnya … Sungguh terpaksa aku menyanyi mengharapkan tuan bermurah hati……
Pemandangan seperti itu juga lazim hampir di setiap lampu merah di jalan-jalan kota Jakarta dan kota besar lainnya. Saking seringnya kita melihat mereka, sampai-sampai kita tak hirau sama sekali pada mereka, mengganggap bahwa semua itu tidak ada dan hanya gangguan belaka.
Coba luangkan sedikit perhatian kita untuk mengamati keberadaan mereka dari hidup kesehariannya, ada suatu hubungan sebab akibat atas keberadaan mereka anak-anak terlantar. Bagi mayarakat mapan keberadaan anak-anak ini mungkin tidak pernah terpikirkan, amat jauh dan nyaris tak tersentuh, namun sesungguhnya adalah mereka adalah bagian dalam kehidupan kita juga.
Sehari-harinya, anak-anak ini banyak berkeliaran di jalan-jalan raya kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan. Kehadiran mereka memang lebih sering mengganggu daripada membantu. Mereka sering merepotkan pengguna jalan dan lalu lintas dalam menjajakan dagangannya di lampu-lampu perempatan jalan, mereka juga sering melakukan tindakan kriminal seperti memaksa, menggores cat mobil, bahkan sampai menodong.
Kalau mau jujur, sebenarnya kita lebih banyak “sebelnya” daripada simpatinya. Keberadaan mereka juga lebih sering dianggap sebagai sampah masyarakat dan menjadi musuh aparat yang seringkali meng-uber-uber dan memnggebuk mereka supaya enyah dari pandangan mata.
Dalam melihat persoalan ini pemerintah mestinya dapat lebih bersikap arif dan jujur dalam menangani anak-anak ini. Harus disadari, bahwa keberadaan mereka sesungguhnya adalah buah dari kebijakan pemerintah itu sendiri. Ketidak-becusan manajemen ke-pemerintah-an, baik dalam hal fisik, lingkungan maupun dalam konteks sosial juga menjadi salah satu penyebabnya, karena mekanisme pasar dalam aktivitas industrialisasi yang tidak disertai kontrol sosial. Perencanaan pembangunan perkotaan seringkali meng-alokasi-kan sumber daya secara tidak adil, dan tidak melayani seluruh kepentingan masyarakat. Akibatnya, karakteristik daerah perkotaan seringkali hanya dapat dimengerti dalam konteks konflik. Hal ini menjadi sebuah kewajaran dari kebijakan politik demokrasi kapitaslis, monopoli konglomerasi yang yang tidak adil dan kemaruk
Kegagalan Kebijakan Politik
Untuk memacu pertumbuhan dan pembangunan, hingga saat ini pemerintah mungkin masih percaya bahwa akan terjadi percepatan pembangunan melalui sektor bisnis dan industri, yang berdampak pada masyarakat lapisan bawah. Banyak sarjana menduga bahwa meskipun hanya selapis saja golongan kaya, cepat atau lambat akan terjadi juga Tricle-down effect (efek menetes), kurang disadari bahwa kenyataannya hanya semakin memperlebar jurang si kaya dan si miskin dengan berbagai permasalahan sosial didalamnya. Tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan akhirnya hanya dilihat secara fisik seperti pusat-pusat bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang saja, sedangkan rakyat miskin di perkotaan hanya mampu menerima tetesan yang jauh dari memadai.
Akibat sangat kecilnya tetesan atau peluang kesempatan bekerja dan mencari nafkah, masyarakat miskin menjadi sangat "kreatif' dalam merebut "pasar'' guna mempertahankan hidup. Karena wadah-wadah ruang kota untuk mencari makan hanya dimonopoli oleh pasar-pasar yang megah, plaza-plaza pencakar langit, pusat-pusat bisnis modern, yang kesemuanya adalah buah dari permufakatan politis (tersembunyi), maka merekapun, rakyat kecil yang miskin hanya punya peluang "berbisnis'' di jalanan, tidak ada pilihan lain.
Masyarakat miskin di perkotaan seringkali mewariskan anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dan pendidikan yang memadai hingga merekapun sejak usia dini sudah terlantar dan harus menentukan nasibnya sendiri, menghidupi diri sendiri dengan berbagai cara. Mereka inilah anak-anak jalanan yang merupakan buah dari kebijakan ekonomi politik semacam itu, dan merekapun jelas tidak memiliki kekuatan apapun, dan jika ini berlangsung terus tanpa ada harapan dan kemungkinan untuk merubah nasib, bukan mustahil akan melahirkan bibit "urban proletariat” dan mengancam stabilitas sosial.
Akibat tidak disadari atau barangkali tak mau menyadari bahwa anak-anak terlantar ini adalah buah dari kebijakan politik-ekonomi pemerintah itu sendiri, yang muncul adalah sikap arogan dan masa bodoh. Anak-anak jalanan seringkali diuber-uber dan tidak jarang digebuki. Padahal persoalannya jelas, orang-orang tua mereka adalah kaum urban yang tidak memiliki keterampilan yang datang ke kota karena memang kota menjanjikan segalanya, dan bahkan bukan sedikit dari anak-anak tersebut telah berani meninggalkan desa-desa karena di desa pun mereka sudah terlantar, sedangkan desa juga tidak dapat menjanjikan harapan dan masa depan.
Karena tidak memiliki sumber daya baik materiil maupun intelektual, mental anak-anak terlantar ini umumnya bersifat pasif, responsif dan dalam pertumbuhannya terbentuk sifat dan perilaku agresif, eksploitatif, dan memberontak. Jalan hidup mereka seakan ditentukan oleh golongan yang lebih dominan, berdasarkan konsep “destiny” atau takdir. Nasib mereka seakan-akan tidak lagi ditentukan oleh Tuhan, tetapi oleh “social order” buatan manusia, seperti yang sering dikatakan oleh “golongan mapan”.
Akibat lebih jauh, potensi dan kemampuan anak-anak jalanan ini tidak dapat berkembang karena terhimpit oleh “image” dari dirinya, dan tekanan dari aparat. Kreativitas, pengambilan inisiatif, semangat berwiraswasta, dan sebagainya, pada akhirnya binasa oleh pelakuan yang tidak adil.
Pada umumnya anak jalanan tidak di-wongke atau dianggap nobody child, terutama oleh aparat penertiban. Buah dari perlakuan ini mempengaruhi persepsi anak-anak tersebut, dengan citra atau image yang penuh pengingkaran, hingga timbul rasa rendah diri (inferioritas). Pada sisi lain persepsi ini melahirkan sikap inferior dan mendorong mereka untuk membentuk kesetiakawanan antarsesama, tolong-menolong (baik untuk kebaikan maupun kejahatan), dan tentu saja memberontak.
Kondisi ini semakin berat karena mereka harus bekerja keras sepanjang waktu tanpa mengenal waktu istirahat, maka hampir dapat dipastikan kualitas hidup mereka teramat rendah.
Cermin retak
Sederhana saja, kekerasan akan menghasilkan kekerasan juga. Pendekatan lintas disiplin dan pemikiran serta melibatkan berbagai pihak merupakan upaya yang baik. Namun harus disadari, selama “ideologi” pembangunan ekonomi terutama tidak memihak wong cilik, kehadiran anak-anak yang menggerayangi jalan-jalan raya tetap tidak akan dapat dikurangi apalagi dihapuskan. Mereka merupakan buah yang wajar dari ketidakadilan. Lewat pendekatan manusiawi, mereka diharapkan akan relatif mudah diarahkan pada peningkatan kualitas hidup yang makin baik.
Secara individu ataupun kelompok, kepedulian golongan mapan yang setiap hari naik mobil mewah, makan-makan di restoran eksklusif dan berpenghasilan fantastis tentunya akan sangat membantu membantu mereka agar lebih “survive” dalam menghadapi hidup yang keras di kota-kota besar, atau syukur-syukur mau mengambil mereka sebagai anak angkat atau menjadi ayah angkat atau apapunlah namanya. Bagi golongan ini, uang receh 5.000 perak, sama sekali tidak bernilai, dibandingkan dengan makan siang mereka di restoran bisa menghabiskan jutaan rupiah.
Pasti timbul komentar klasik dan sangat umum yang sering dilontarkan seperti “Ah itu tidak mendidik” !!! Namun jika dibalik pertanyaanya, kapan sih kita pernah mendidik mereka ??? padahal kita juga tak pernah memberi mereka meski hanya untuk sekadar makan. Kita memang sering bersikap arogan bukan ??
Sekali lagi, persoalan ini bukanlah suatu pilihan antara mendidik dan tidak, atau antara pilihan mereka mengganggu dijalanan atau tidak. Persoalan pokoknya adalah keterbatasan kemampuan bagi mereka meski untuk kebutuhan yang paling dasar sekalipun, sebagaimana telah diceritakan diawal tulisan ini, Siapa sih yang mau dan bersedia bekerja di jalanan kalau memang ada pilihan lain yang lebih baik, kalau tidak terpaksa (atau dipaksa keadaan).
Semoga ini dapat menjadi sebuah refleksi dan renungan dalam menyambut HUT-RI ke 61 untuk lebih mampu melihat lebih dalam lagi keberadaan merebaknya anak-anak terlantar yang berkeliaran di jalan-jalan kota-besar saat ini. Anak-anak itu juga bagian dari masa depan bangsa, namun keberadaannya bagai cermin, kendati hanya sebuah cermin retak… yang hanya mampu memantulkan wajah buruk kita (bangsa) sendiri.
Marilah belajar menerima keberadaan mereka, dan kalau sudah dapat menerima, besar kemungkinan juga akan dapat belajar mencintai mereka, tanpa syarat.
Pemandangan seperti itu juga lazim hampir di setiap lampu merah di jalan-jalan kota Jakarta dan kota besar lainnya. Saking seringnya kita melihat mereka, sampai-sampai kita tak hirau sama sekali pada mereka, mengganggap bahwa semua itu tidak ada dan hanya gangguan belaka.
Coba luangkan sedikit perhatian kita untuk mengamati keberadaan mereka dari hidup kesehariannya, ada suatu hubungan sebab akibat atas keberadaan mereka anak-anak terlantar. Bagi mayarakat mapan keberadaan anak-anak ini mungkin tidak pernah terpikirkan, amat jauh dan nyaris tak tersentuh, namun sesungguhnya adalah mereka adalah bagian dalam kehidupan kita juga.
Sehari-harinya, anak-anak ini banyak berkeliaran di jalan-jalan raya kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan. Kehadiran mereka memang lebih sering mengganggu daripada membantu. Mereka sering merepotkan pengguna jalan dan lalu lintas dalam menjajakan dagangannya di lampu-lampu perempatan jalan, mereka juga sering melakukan tindakan kriminal seperti memaksa, menggores cat mobil, bahkan sampai menodong.
Kalau mau jujur, sebenarnya kita lebih banyak “sebelnya” daripada simpatinya. Keberadaan mereka juga lebih sering dianggap sebagai sampah masyarakat dan menjadi musuh aparat yang seringkali meng-uber-uber dan memnggebuk mereka supaya enyah dari pandangan mata.
Dalam melihat persoalan ini pemerintah mestinya dapat lebih bersikap arif dan jujur dalam menangani anak-anak ini. Harus disadari, bahwa keberadaan mereka sesungguhnya adalah buah dari kebijakan pemerintah itu sendiri. Ketidak-becusan manajemen ke-pemerintah-an, baik dalam hal fisik, lingkungan maupun dalam konteks sosial juga menjadi salah satu penyebabnya, karena mekanisme pasar dalam aktivitas industrialisasi yang tidak disertai kontrol sosial. Perencanaan pembangunan perkotaan seringkali meng-alokasi-kan sumber daya secara tidak adil, dan tidak melayani seluruh kepentingan masyarakat. Akibatnya, karakteristik daerah perkotaan seringkali hanya dapat dimengerti dalam konteks konflik. Hal ini menjadi sebuah kewajaran dari kebijakan politik demokrasi kapitaslis, monopoli konglomerasi yang yang tidak adil dan kemaruk
Kegagalan Kebijakan Politik
Untuk memacu pertumbuhan dan pembangunan, hingga saat ini pemerintah mungkin masih percaya bahwa akan terjadi percepatan pembangunan melalui sektor bisnis dan industri, yang berdampak pada masyarakat lapisan bawah. Banyak sarjana menduga bahwa meskipun hanya selapis saja golongan kaya, cepat atau lambat akan terjadi juga Tricle-down effect (efek menetes), kurang disadari bahwa kenyataannya hanya semakin memperlebar jurang si kaya dan si miskin dengan berbagai permasalahan sosial didalamnya. Tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan akhirnya hanya dilihat secara fisik seperti pusat-pusat bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang saja, sedangkan rakyat miskin di perkotaan hanya mampu menerima tetesan yang jauh dari memadai.
Akibat sangat kecilnya tetesan atau peluang kesempatan bekerja dan mencari nafkah, masyarakat miskin menjadi sangat "kreatif' dalam merebut "pasar'' guna mempertahankan hidup. Karena wadah-wadah ruang kota untuk mencari makan hanya dimonopoli oleh pasar-pasar yang megah, plaza-plaza pencakar langit, pusat-pusat bisnis modern, yang kesemuanya adalah buah dari permufakatan politis (tersembunyi), maka merekapun, rakyat kecil yang miskin hanya punya peluang "berbisnis'' di jalanan, tidak ada pilihan lain.
Masyarakat miskin di perkotaan seringkali mewariskan anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dan pendidikan yang memadai hingga merekapun sejak usia dini sudah terlantar dan harus menentukan nasibnya sendiri, menghidupi diri sendiri dengan berbagai cara. Mereka inilah anak-anak jalanan yang merupakan buah dari kebijakan ekonomi politik semacam itu, dan merekapun jelas tidak memiliki kekuatan apapun, dan jika ini berlangsung terus tanpa ada harapan dan kemungkinan untuk merubah nasib, bukan mustahil akan melahirkan bibit "urban proletariat” dan mengancam stabilitas sosial.
Akibat tidak disadari atau barangkali tak mau menyadari bahwa anak-anak terlantar ini adalah buah dari kebijakan politik-ekonomi pemerintah itu sendiri, yang muncul adalah sikap arogan dan masa bodoh. Anak-anak jalanan seringkali diuber-uber dan tidak jarang digebuki. Padahal persoalannya jelas, orang-orang tua mereka adalah kaum urban yang tidak memiliki keterampilan yang datang ke kota karena memang kota menjanjikan segalanya, dan bahkan bukan sedikit dari anak-anak tersebut telah berani meninggalkan desa-desa karena di desa pun mereka sudah terlantar, sedangkan desa juga tidak dapat menjanjikan harapan dan masa depan.
Karena tidak memiliki sumber daya baik materiil maupun intelektual, mental anak-anak terlantar ini umumnya bersifat pasif, responsif dan dalam pertumbuhannya terbentuk sifat dan perilaku agresif, eksploitatif, dan memberontak. Jalan hidup mereka seakan ditentukan oleh golongan yang lebih dominan, berdasarkan konsep “destiny” atau takdir. Nasib mereka seakan-akan tidak lagi ditentukan oleh Tuhan, tetapi oleh “social order” buatan manusia, seperti yang sering dikatakan oleh “golongan mapan”.
Akibat lebih jauh, potensi dan kemampuan anak-anak jalanan ini tidak dapat berkembang karena terhimpit oleh “image” dari dirinya, dan tekanan dari aparat. Kreativitas, pengambilan inisiatif, semangat berwiraswasta, dan sebagainya, pada akhirnya binasa oleh pelakuan yang tidak adil.
Pada umumnya anak jalanan tidak di-wongke atau dianggap nobody child, terutama oleh aparat penertiban. Buah dari perlakuan ini mempengaruhi persepsi anak-anak tersebut, dengan citra atau image yang penuh pengingkaran, hingga timbul rasa rendah diri (inferioritas). Pada sisi lain persepsi ini melahirkan sikap inferior dan mendorong mereka untuk membentuk kesetiakawanan antarsesama, tolong-menolong (baik untuk kebaikan maupun kejahatan), dan tentu saja memberontak.
Kondisi ini semakin berat karena mereka harus bekerja keras sepanjang waktu tanpa mengenal waktu istirahat, maka hampir dapat dipastikan kualitas hidup mereka teramat rendah.
Cermin retak
Sederhana saja, kekerasan akan menghasilkan kekerasan juga. Pendekatan lintas disiplin dan pemikiran serta melibatkan berbagai pihak merupakan upaya yang baik. Namun harus disadari, selama “ideologi” pembangunan ekonomi terutama tidak memihak wong cilik, kehadiran anak-anak yang menggerayangi jalan-jalan raya tetap tidak akan dapat dikurangi apalagi dihapuskan. Mereka merupakan buah yang wajar dari ketidakadilan. Lewat pendekatan manusiawi, mereka diharapkan akan relatif mudah diarahkan pada peningkatan kualitas hidup yang makin baik.
Secara individu ataupun kelompok, kepedulian golongan mapan yang setiap hari naik mobil mewah, makan-makan di restoran eksklusif dan berpenghasilan fantastis tentunya akan sangat membantu membantu mereka agar lebih “survive” dalam menghadapi hidup yang keras di kota-kota besar, atau syukur-syukur mau mengambil mereka sebagai anak angkat atau menjadi ayah angkat atau apapunlah namanya. Bagi golongan ini, uang receh 5.000 perak, sama sekali tidak bernilai, dibandingkan dengan makan siang mereka di restoran bisa menghabiskan jutaan rupiah.
Pasti timbul komentar klasik dan sangat umum yang sering dilontarkan seperti “Ah itu tidak mendidik” !!! Namun jika dibalik pertanyaanya, kapan sih kita pernah mendidik mereka ??? padahal kita juga tak pernah memberi mereka meski hanya untuk sekadar makan. Kita memang sering bersikap arogan bukan ??
Sekali lagi, persoalan ini bukanlah suatu pilihan antara mendidik dan tidak, atau antara pilihan mereka mengganggu dijalanan atau tidak. Persoalan pokoknya adalah keterbatasan kemampuan bagi mereka meski untuk kebutuhan yang paling dasar sekalipun, sebagaimana telah diceritakan diawal tulisan ini, Siapa sih yang mau dan bersedia bekerja di jalanan kalau memang ada pilihan lain yang lebih baik, kalau tidak terpaksa (atau dipaksa keadaan).
Semoga ini dapat menjadi sebuah refleksi dan renungan dalam menyambut HUT-RI ke 61 untuk lebih mampu melihat lebih dalam lagi keberadaan merebaknya anak-anak terlantar yang berkeliaran di jalan-jalan kota-besar saat ini. Anak-anak itu juga bagian dari masa depan bangsa, namun keberadaannya bagai cermin, kendati hanya sebuah cermin retak… yang hanya mampu memantulkan wajah buruk kita (bangsa) sendiri.
Marilah belajar menerima keberadaan mereka, dan kalau sudah dapat menerima, besar kemungkinan juga akan dapat belajar mencintai mereka, tanpa syarat.
Sahabat
Teman adalah hadiah dari Yang Di Atas buat kita.
Seperti hadiah, ada yang bungkusnya bagus dan ada yang bungkusnya jelek.
Yang bungkusnya bagus punya wajah rupawan, atau kepribadian yang menarik.
Yang bungkusnya jelek punya wajah biasa saja, atau kepribadian yang biasa saja,
atau malah menjengkelkan.
Seperti hadiah, ada yang isinya bagus dan ada yang isinya jelek.
Yang isinya bagus punya jiwa yang begitu indah sehingga kita terpukau
Ketika berbagi rasa dengannya, ketika kita tahan menghabiskan waktu berjam-jam
saling bercerita dan menghibur, menangis bersama, dan tertawa bersama.
Kita mencintai dia dan dia mencintai kita.
Yang isinya buruk punya jiwa yang terluka. Begitu dalam luka-lukanya
sehingga jiwanya tidak mampu lagi mencintai,
justru karena ia tidak merasakan cinta dalam hidupnya.
Sayangnya yang kita tangkap darinya seringkali justru sikap penolakan,
dendam, kebencian, iri hati, kesombongan, amarah, dll.
Kita tidak suka dengan jiwa-jiwa semacam ini dan mencoba menghindar dari mereka.
Kita tidak tahu bahwa itu semua BUKANlah karena mereka pada dasarnya buruk,
tetapi ketidakmampuan jiwanya memberikan cinta
karena justru ia membutuhkan cinta kita,
membutuhkan empati kita,kesabaran dan keberanian kita
untuk mendengarkan luka-luka terdalam yang memasung jiwanya.
Bagaimana bisa kita mengharapkan seseorang yang terluka lututnya
berlari bersama kita?
Bagaimana bisa kita mengajak seseorang yang takut air berenang bersama?
Luka di lututnya dan ketakutan terhadap airlah yang mesti disembuhkan,
Bukan mencaci mereka karena mereka tidak mau berlari atau berenang bersama kita.
Mereka tidak akan bilang bahwa "lutut" mereka luka atau mereka "takut air",
mereka akan bilang bahwa mereka tidak suka berlari atau mereka akan bilang
berenang itu membosankan dll. It's a defense mechanism.
Itulah cara mereka mempertahankan diri.
Mereka tidak akan bilang,
Mereka akan bilang: "Aku tidak bisa menari, menari itu tidak menarik."
"Aku membutuhkan kamu tidak ada yang cocok denganku."
"Aku kesepian" "Teman-temanku sudah lulus semua."
"Aku butuh diterima" "Aku ini buruk, siapa yang bakal tahan denganku.."
"Aku ingin didengarkan" "Kisah hidupku membosankan.."
Mereka semua hadiah buat kita, entah bungkusnya bagus atau jelek,
Entah isinya bagus atau jelek. Dan jangan tertipu oleh kemasan.
Hanya ketika kita bertemu jiwa-dengan-jiwa,
kita tahu hadiah sesungguhnya yang sudah disiapkanNya buat kita.
Love doesn't make the world go round.
Love is what makes the ride worthwhile.
Rabu, 18 Agustus 2010
PERBANDINGAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN INDONESIA-JEPANG (Tinjauan Historikal)
by Urbanus M. Ambardi on Friday, December 18, 2009 at 11:59am
Pada awalnya, agak kesulitan untuk membiasakan telinga mendengar percakapan bahasa inggris para professor di Universitas Ritsumeikan, namun dengan berusaha fokus dan sedikit berkonsentrasi, akhirnya menjadi semakin clear dan dapat menangkap isi ceramah dan perkuliahan
Program diklat TOT dimaksudkan selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan peserta yang sebagian besar datang dari kalangan universitas di Indonesia, juga diarahkan agar perserta dapat berfungsi sebagai “think thank” dalam penyusunan kurikulum pendidikan dan pelatihan Jabatan Fungsional Perencana (diklat JFP) juga nantinya sebagai pengajar dalam melatih peserta-peserta diklat perencana pembangunan nasional dibawah koordinasi Bappenas.
Setelah menjalani proses pembelajaran ilmu perencanaan pembangunan selama 1 minggu di Universitas Indonesia-Jakarta dan 2 minggu di Jepang dengan kombinasi perkuliahan di kelas dan kunjungan-kunjungan ke municipal di beberapa kota di Jepang, ada beberapa pemahaman dan pengalaman yang perlu disampaikan berkaitan dengan proses perencanaan pembangunan.
Dengan tidak bermaksud mengungkap tentang baik-buruk, plus-minus dan positif negatifnya, tulisan ini dimaksudkan sebagai tinjauan “historical” perencanaan pembangunan antara kedua negara sebagai bentuk “permenungan” penulis selama berkempatan “menyaksikan” hasil-hasil pembangunan di Jepang
Sekilas Umum pembangunan Jepang
Jepang adalah Negara yang khas. Kekhasannya terdiri dari berbagai dimensi dan variasi aspek kehidupannya. Mulai dari sistem budaya, hingga budaya kerja-kolektif. Mereka bukan bangsa yang mudah meniru dalam tatanan struktur sosial budaya. Begitu juga dalam sistem perekonomiannya. Ketika orang Jepang pergi belajar ke berbagai Negara di Amerika dan Eropa lainnya, untuk kemudian kembali ke negaranya untuk membangun, para ilmuwannya tidak begitu saja “menjiplak” pola umum pembangunan ekonomi yang dikembangkan di Negara barat. Para ilmuwan Jepang mengembangkan sistem perekonomiannya dengan memanfaatkan keunikan sistem sosial dan sistem budaya yang mereka miliki. Jika ingin mengkaji modernisasi Jepang, kajian tentang sistem budaya masyarakat Jepang yang terjadi ratusan tahun yang lalu adalah suatu “keharusan”. Ekonomi modern berkembang secara simultan dengan identitas budaya nasionalnya. Banyak pengamat Barat menyebut bahwa cultural identity dan social institution adalah embrio kapitalisme Jepang.
Ilmuwan barat menjuluki kebangkitan perekonomian Jepang sebagai sebuah pengecualian menyimpang (anomaly) dan paradoksal. Meskipun Jepang belajar pada sistem kapitalis yang dibangun dan dikembangkan oleh negara-negara barat, namun Jepang tidak begitu saja mengadopsinya. Dengan self confidence terukur, Jepang membangun sistem perkonomiannya dengan mengadaptasinya sesuai dengan sistem sosial-budaya masyarakat Jepang, sehingga tumbuh secara unik dan berkarakter ketimuran yang kuat.
Bagi ilmuwan Jepang teori ekonomi barat hanya dianggap sebagai “bahan baku.” dan bukan alat yang langsung bisa dipakai. Para perencana ekonomi Jepang tidak pernah percaya bahwa untuk menjadi negara maju, nilai-nilai tradisionil harus dipinggirkan seperti yang terjadi di Barat. Bahkan sebaliknya nilai-nilai tradisionil adalah potensi yang dapat dijadikan sebagai katalis dan energi aktivasi serta dipadukan dengan teknologi modern untuk membangun suatu sistem perekonomian yang tangguh. Model perpaduan inilah yang disebut sebagai “dualisme ekonomi.” Dan ini sekaligus menjadi salah satu rahasia sukses perekonomian Jepang.
Strategi Pembangunan Ekonomi Jepang
Menyimak dan mempelajari sistem perekonomian Jepang tidak cukup hanya mengunakan lensa ekonomi, namun perlu menggunakan lensa sosial-budaya sebagai alat bantu untuk mempelajari perekonomian Jepang. Pemerintah Jepang memprioritaskan pembangunan infrastruktur sosial, dan mengintegrasikan tradisi sosial ke dalam sistem pembangunan ekonomi.
Dari tinjauan mikro, salah satu aspek yang mendorong keberhasilan Jepang dalam membangun sumberdaya manusia paska perang dunia II adalah membudayakan sistem “Kerja Kelompok” (Team work). Para insinyur Jepang yang dikirim ke Barat untuk belajar harus kembali ke Jepang dengan membawa ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, ilmu dan teknologi yang mereka bawa harus diajarkan kepada semua anggota kelompoknya. Pengetahuan itu harus merata di antara anggota; jika tidak, kelompok itu tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Dilihat dari aspek makro pembangunan, Jepang memprioritaskan kebijakan pemerataan pembangunan. Diantara Negara-negara maju, Jepang adalah negara yang paling tinggi tingkat pemerataan hasil-hasil pembangunannya. Bukan hanya dari aspek pendapatan tetapi juga meliputi fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur-fisik, dan lain-lain. Dari beberapa bahan rujukan tentang kota paling selatan Okinawa sampai daerah paling Utara Hokaido dan pengalaman pandangan mata selama perjalanan ke beberapa kota di Jepang seperti Tokyo, Kyoto, Osaka, Kobe, Kusatsu, Nigata, Kitakyusu, Oita dan kota-kota lainnya, rakyat jepang masa kini sudah menikmati fasilitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur fisik dan sosial, dan fasilitas publik lainnya. Daerah pedesaan di pegunungan mempunyai fasilitas jalan, air minum dan listrik kurang lebih seperti di Tokyo, Kyoto, Osaka dan kota-kota besar lainnya.
Sumberdaya Domestik.
Perbedaan yang cukup signifikan antara Jepang dan Negara maju lainnya dalam hal sumberdaya pembangunan terletak pada bagaimana Jepang sangat sedikit menggunakan sumberdaya modal dari luar (hutang luar negeri) untuk pembangunan terutama pada dekade awal pembangunan industri.
Sementara Negara-negara eropa seperti Belgia, Perancis, bahkan Rusia justru menggantungkan pada foreign capital (hutang luar negeri) yang difasilitasi oleh “British Capital” dan “French Capital” pada era tahun 1800-an. Jepang memang tidak menggantungkan pada foreign capital untuk membiayai pembangunan ekonominya oleh karena beberapa alasan yaitu :
1) Investor asing tidak tertarik berinvestasi karena Jepang bukan Negara yang kaya sumberdaya alam sehingga “capital-inflow” dalam bentuk “Foreign Direct Investment (FDI)” tidak terjadi.
2) pemerintah Jepang pada saat itu benar-benar belajar dari pengalaman Negara-negara lain yang mengalami kesalahan dalam mengelola foreign capital seperti yang terjadi di Negara Mesir dan Turki yang menyebabkan “kekacauan ekonomi” kedua negara tersebut.
Belajar dari kegagalan Negara lain, pemerintah Jepang giat lalu mengkonsolidasikan sumberdaya domestik dan mendorong perusahaan-perusahaan lokal untuk menjadi mitra pemerintah dalam membangun dan memajukan perekonomian nasional serta membantu dan memfasilitasi masyarakatnya menjadi pengusaha-pengusaha baru. Dengan mengefektifkan sumberdaya-sumberdaya baru tersebut, Jepang memulai revolusi industrinya sebagai kekuatan utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam sejarah Jepang, sebelum tahun 900, pinjaman luar negeri yang terbesar tercatat 5 juta yen yang dipinjam pada tahun 1870 ketika membangun ruas jalan kereta api antara Tokyo dan Yokohama. Prosentase pinjaman tersebut sangat kecil dibandingkan dengan total dana yang dipakai untuk membangun ruas jalan kereta api pada saat itu.
Memprioritaskan Pembangunan Infrastruktur Sosial.
Keunggulan Jepang lainnya dalam hal rekonstruksi perekonomian pasca perang dunia II yang menghancurkan sebagian besar infrastruktur fisik adalah bahwa infrastruktur sosial yang dibangun sejak masa keemasan samurai tidak ikut hancur. Meskipun infrastruktur fisik luluh lantak, pengangguran besar-besaran tak dapat dihindari, namun sistem pendidikan yang telah diwajibkan pada masa Tokugawa dan para “shohun” (jendral, militer) terus didorong agar masyakarat untuk terus belajar, terutama dalam hal membaca dan menulis serta terus membangun sistem pendidikan dan business tradition. Dua infrastruktur sosial penting inilah yang telah dibangun dan pada akhirnya menjadi landasan yang kuat dalam pertumbuhan ekonomi moderen di Jepang dalam waktu yang relatif singkat dengan hanya dalam kurun waktu 25 tahun. Hal ini mencerminkan bahwa “Sumber Daya Manusia” merupakan hal sangat penting sebagai bagian dari “infrastruktur sosial” dalam proses pembangunan.
Dimasa lalu dalam sistem pemerintahan yang otokratis feodalisme, dimana Jepang masih menutup diri dari pergaulan internasional dan sistem perekonomian moderen tidak dapat dilaksanakan, peranan sekolah yang diprakarsai oleh kuil-kuil budha cukup mendorong iklim dan tradisi bisnis, sehingga masyarakatnya dapat bertahan secara berswadaya dan mandiri. Pertanian terutama hasil-hasil pertanian dilakukan dengan sistem cooperation and joint-undertaking.
Dari berbagai sumber bacaan diperoleh informasi bahwa berdasarkan tradisi negara-negara di Eropa, iklim industrialisasi dianggap berseberangan dengan unsur tradisional, sehingga solusinya adalah apabila suatu negara menganut industrialisasi sebagai jalan menuju kesejahteraan kolektif, maka unsur tradisional harus “dihapuskan.”
Yang terjadi di Jepang sebaliknya, nilai-nilai dan institusi tradisional justru tetap dipertahankan, bahkan sampai sekarang, di era globalisasi ekonomi, nilai-nilai tradisional tetap eksis dalam manajemen dan praktek bisnis. Life-time employment, seniority based system, dan traditional family system adalah contoh-contoh nilai dan institusi tradisionil Jepang yang masih terpelihara hingga sekarang. Meskipun sudah banyak kritikan dari masyarakat internasional maupun dari masyarakat Jepang sendiri tentang kelemahan sistim nilai tersebut. Para pengeritik mengadvokasi untuk meninggalkannya dan mengadopsi “manajemen moderen” yang dikembangkan di Barat sebagai gantinya. Tetapi sebagian besar dari mereka terus dan masih meyakini bahwa justru dengan model seperti itu Jepang bisa menjadi negara yang disegani dalam bidang ekonomi, sains, dan teknologi.
Inilah potret bagaimana sistem perekonomian Jepang dibangun melalui karakter sosial budaya yang “mature” dan tangguh setelah kehancuran ekonomi dan trauma mendalam pasca Perang Dunia II, dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi mereka mengembangkan model mereka sendiri. Mereka beranggapan bahwa konsep dan sistem perekonomian yang dirakit di barat dianggap baru mencapai proses “bahan-baku”, dan belum “ready to use.”
Pola Perencanaan Pembagunan di Indonesia
Pada abad ke-19, kata pembangunan lebih bermakna industrialisasi yang dianggap akan mampu memanusiakan manusia. Paradigma ini seperti bercermin pada revolusi industri yang terjadi di Perancis pada saat itu. Perkembangan selanjutnya, awal abad ke-20, dalam pemikiran ekonomi pembangunan moderen, arti kata pembangunan lebih diidentikkan dengan economic growth yang digerakkan oleh ekonom-ekonom Amerika. Pada saat itu, mekanisasi dan industrialisasi menjadi “mesin ekonomi” dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Economic growth dikombinasikan dengan politik modernisasi seperti; nation building, and social modernization seperti promosi kewirausahaan dan orientasi prestasi dalam manajemen perusahaan (Pieterse, 2001:6). Pendekatan economic growth sebagai proses dan upaya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia sangat percaya pada paradigma “trickle down effects” dengan asumsi bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yangtinggi akan menghasilkan akumulasi pendapatan nasional yang pada gilirannya akan terdistribusi ke lapisan bawah, hingga akhirnya terbukti dalam pelaksanaannya asumsi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya akibat terjadinya mal praktek pembangunan. Bahkan promosi economic growth tidak sedikit menimbulkan masalah baru terutama di negara-negara berkembang seperti yang terjadi di Indonesia, disparitas pendapatan antara si kaya dan si miskin semakin tajam, disparitas daerah antar Jawa dan luar Jawa, dan disparitas kota dan desa semakin melebar sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga tahun 1997 (sebelum krisis ekonomi).
Berawal dari UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa bahwa tujuan dan sasaran pembangunan adalah untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, pemerintah Indonesia secara bertahap menuangkan kerangka kerja lima tahunan. Meskipun pada era pemerintahan Orde Baru sampai Orde Kabinet Bersatu berhasil melakukan pembangunan di berbagai sektor, namun bukan tanpa aral dan hambatan dan tidak sedikit kegagalan pembangunan yang salah satunya diakibatkan centralized policy system and planning formulation dibawah pemerintahan Orde Baru. Dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut menyebabkan kemacetan ide/ gagasan yang datang dari inisiatif lokal/ daerah.
Peralihan pemerintahan dibawah kemimpinan Presiden BJ.Habibie, badai reformasi dan demokrasi bertiup kencang seiiring bergulirnya otonomi daerah.
Dalam harian Kompas 23/8-2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan, akibat percepatan pembangunan yang berbeda-beda, Indonesia dihadapkan pada ketimpangan antarwilayah. Perbedaan mencolok hasil pembangunan antarwilayah terlihat antara wilayah Jawa dan luar Jawa, wilayah barat dan timur Indonesia, dan wilayah maju dan tertinggal. Terjadinya ketimpangan antarwilayah membuat sejumlah kawasan tertinggal. Akses masyarakat terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik terbatas. Pemerintah telah mengidentifikasi 199 kabupaten dari 440 kabupaten/kota di Indonesia tertinggal, 20 di antaranya di perbatasan, ujar Presiden dalam keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta.
Identifikasi 199 kabupaten tertinggal sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009 dan segera diatasi dalam jangka waktu lima tahun itu. Penyebab ketertinggalan daerah itu adalah tidak terdapatnya potensi yang bisa dikembangkan dan letak geografis yang sulit dijangkau sehingga prasarana sulit disediakan. Arah pengembangan kawasan tertinggal adalah pemberdayaan masyarakat secara komprehensif dan partisipatif yang mencakup penyediaan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan prasarana dasar. Kehidupan sosial ekonomi dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya alam dan aspirasi lokal,
Lalu, bagaimana dengan model pembangunan ekonomi di Indonesia selama ini?” Bersama kita telah menyaksikan dan mencermati bahwa model pembangunan Indonesia yang dikembangkan selama Orde Baru hingga sekarang masih sangat mengandalkan hutang luar negeri (foreign capital,) sumberdaya domestik belum dikembangkan dengan baik, industri-industri manufaktur banyak bergantung pada bahan impor dalam proses produksinya; anggaran pendidikan nasional relatif masih rendah dari total APBN, inisiatif dan budaya lokal semakin tidak populer akibat dominasi pemerintah pusat dalam perumusan kebijakan publik, sehingga institusi lokal tak berkembang, praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan nyaris terjadi di berbagai lini, hak “wong cilik” untuk hidup layak tidak terurusi, lemahnya peegakkan hukum (law enforcement”) yang akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi semu karena tumbuh hanya dari sektor konsumsi saja, sehingga budaya baru konsumerisme tak terelakkan, sebuah landasan dan fundamental ekonomi yang rapuh.
Seperti halnya Jepang, apakah Indonesia tidak memiliki sumberdaya berupa nilai dan norma sosio-kultural dan sumberdaya domestik yang bisa dijadikan modal dasar pembangunan ekonomi nasional?”
Sebenarnya, ada begitu besar modal dasar sosial budaya dan nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh negeri kita Indonesia. Berbagai suku bangsa yang ada didalamnya memiliki norma kearifan lokal yang bermuatan positif. Dapat dibayangkan betapa sulitnya mengintegrasikan heterogenitas tersebut menjadi sebuah kesepahaman kolektif. Dan dalam perjalanannya ternyata masih terdapat banyak halangan terutama yang menyangkut persoalan konflik vertikal maupun horisontal, seperti dapat disaksikan di berbagai tayangan berbagai media massa dan elektronik. Pembelajaran masyarakat terhadap sistem demokrasi yang terbuka lebar menjadi sebuah harga yang sangat mahal dan harus dibayar dengan berbagai permasalahan rumit.
Sistem pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah seperti direpotkan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi setiap harinya, dari mulai konflik agraria antara petani dan industri hingga kasus manipulasi dan penyalahgunaan wewenang di dunia perbankan.
Kebijakan untuk mendorong industrialisasi nasional menyebabkan sektor pertanian lambat laun menjadi prioritas kedua dan nyaris tidak populer lagi. Inilah titik awal kemunduran sistem pertanian nasional yang dulu pernah menjadi “trademark“ Indonesia sebagai negeri agraris.
Pembangunan pedesaan berbasis pertanian sesungguhnya sebuah keniscayaan dalam konteks perekonomian Indonesia. Namun, karena proses politik dan kebijakan ekonomi makro yang tak berpihak pada sektor pertanian serta besarnya daya tarik ekonomi sektor non-pertanian menjadikan pembangunan pedesaan dan sektor pertanian nyaristerlupakan. Berbagai indikator ekonomi seperti kucuran kredit perbankan untuk sektor pertanian yang hanya sekitar lima persen per tahun dan pengurangan subsidi terhadap input pertanian bisa menjadi pembenar atas pernyataan ini. Selain itu, perhatian pemerintah terhadap pengembangan sumberdaya manusia (SDM) sebagai bagian internal pembangunan pedesaan dan infrastruktur sosial masih kurang. Hal ini relatif berbeda dengan pendekatan pembangunan di Jepang, dimana pengembangan SDM dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan infrastruktur sosial dan salah satu pilar pembangunan ekonomi.
Oleh karena itu, humanisasi pembangunan pedesaan yang mengedepankan pengembangan SDM untuk membangun “local empowerment” dan “local capacity” perlu mendapat dukungan politik, sehingga pemerintah secara serius membenahinya. Selain itu, lokalisasi kebijakan dan strategi pembangunan perdesaan juga diharapkan bisa menjadi solusi yang tepat dalam memacu laju pembangunan perdesaan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keterbatasan Sumberdaya dan Budaya Iptek
Masih terbatasnya sumber daya iptek tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia masih belum sebanding, sebagai contoh pada tahun 2003 adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7.
Selain itu rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2002 mengalami penurunan, dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2004. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan rasio serupa di ASEAN, seperti Malaysia sebesar 0,5 persen (tahun 2002) dan Singapura sebesar 1,89 persen (tahun 2003). Sementara itu menurut rekomendasi UNESCO, rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen. Kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan. Faktor-faktor ini pulalah yang besar kemungkinan menyebabkan tingginya angka kecelakaan di sektor transportasi yang melanda negara kita pada tahun-tahun belakangan ini.
Disamping itu Budaya bangsa secara umum masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekedar membeli teknologi “siap saji”. Sikap masyarakat menjadi semakin konsumtif karena sikap pemerintah yang justru sangat memanjakan kebijakan impor, mulai dai barang-barang manufaktur, elektronik sampai pada kebutuhan pokok seperti beras dan bahkan garam dapur.
Sudah barang tentu, kondisi ini berakibat pada tidak optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna. Masalah ini dapat dilihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, seperti institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi yang dibutuhkan oleh industri-industri lokal.
Masih banyak faktor faktor penghambat lain misalnya keterkaitan kegiatan riset dengan kebutuhan nyata, kinerja kelembagaan litbang yang tidak maksimal, aktivitas riset yang masih terkesan “sekedarnya” dan pada akhirnya melengkapi segenap kekurangan dan ketertinggalan Indonesia di dunia Iptek
.
Budaya Konsumerisme ?
Kondisi terkini, perekonomian Indonesia ditengah pasar global sepertinya tidak terlalu banyak terpengaruh oleh krisis global yang melanda negara-negara maju. Salah satu faktor yang menyelamatkan Indonesia dari krisis adalah bahwa Indonesia belum masuk kedalam “rantai nilai” sistem produksi dalam sistem industri dunia, meskipun dunia industri nasional sempat “goyah” karena krisis ini, namun karena skala dan konstelasinya masih terbatas maka akibatnyapun tidak se-”telak” seperti yang dirasakan oleh negara-negara industri maju berikut “networking” nya.
Aspek lain yang menyelamatkan perekonomian Indonesia saat ini adalah bahwa faktor “C” atau konsumsi masyarakat yang sangat tinggi telah membentuk iklim pertumbuhan ekonomi tetap terjadi, meskipun secara makro pertumbuhan ini belum dapat dikatakan dapat memberi kontribusi secara signifikan.
Inilah yang sedang terjadi, serbuan produk teknologi seakan telah menjadi kebutuhan pokok. Sayangnya, tuntutan modrnisasi ini belum dibarengi dengan daya beli yang memadai namun masyarakat sudah terlanjur disuguhi berbagai produk pabrik, mulai dari produk otomotif, elektronik, fashion, hingga makanan ringan dengan kemasan yang sangat menarik.
Disinilah persoalannya. Disatu sisi masyarakat dibujuk dengan metode pemasaran yang canggih untuk membeli produk-produk konsumtif tersebut, namun realitanya dayabeli masyarakat konsumen sebagai salah satu aspek dalam infrastruktur sosial belum merata, sehingga membuka persoalan baru dan potensi kriminalitas yang semakin meningkat. Sementara itu persaingan bisnis yang tidak sehat bahkan monopoli, apalagi ketika hukum tidak ditegakkan, orientasi maksimalisasi profit mendorong munculnya praktik bisnis yang ilegal atau tidak memperhatikan nilai keadilan
Dalam situasi tersebut, penggusuran terhadap pusat-pusat ekonomi rakyat dihalalkan demi menciptakan pasar-pasar baru yang lebih efisien dan efektif. Konsekuensinya, masyarakat kehilangan daya tawarnya
Dari kacamata sosial budaya meningkatnya eksploitasi terhadap konsumen dengan sistem ekonomi kapitalis yang tidak sempurna ini menyebabkan :
1) Kesejahteraan masyarakat luas tidak lagi menjadi prioritas utama.
2) munculnya budaya konsumerisme.
3) terjadinya praktik monopoli dan kolusi.
Ketergantungan masyarakat terhadap produk-produk konsumtif tersebut cepat atau lambat berakibat pada merebaknya kejahatan sosial seperti judi, miras, prostitusi, narkoba, dan HIV/AIDS. Hal ini menjadi pemicu paling kuat dan meledaknya kekerasan yang memerosotkan penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal kemerosotan dan etika menunjukkan bagaimana hati nurani telah dimatikan seperti ditemukan dalam berbagai dampak negatif dan globalisasi dan kemajuan teknologi.
Iklim tersebut lambat laun menyebabkan memudarnya akar budaya, sejarah dan nilai-nilai yang dimiliki hingga masyarakat kehilangan bentuk interaksi sosial yang dibangun atas dasar saling percaya. Pada akhirnya masyarakat cenderung bersikap apatis terhadap realitas sosial yang terjadi, sejauh tidak bersinggungan dengan kepentingan mereka. Sebaliknya masyarakat cenderung menjadi reaktif dan berpotensi melakukan kekerasan, jika merasa kepentingan hidup mereka dipermainkan dan terancam.
Jika mencermati perkembangan perencanaan pembangunan di Indonesia terkini dalam situasi politik yang sangat fluktuatif, maka disinilah perlunya kita belajar dari pengalaman negara lain, misalnya bagaimana Jepang membangun negaranya dengan berkaca melalui kacamata sejarah (historical) dan sumberdaya domestik yang dimiliki sebagai basis kekuatan dalam sistem perencanaan partisipatifnya yang terbukti baik.
Mengutip tulisan seorang sahabat, Wignyo Adiyoso dalam bukunya “Menggugat Perencanaan Partisipatif Dalam Pemberdayaan Masyarakat” secara gamblang mengatakan bahwa :
Walaupun partisipasi bukanlah “mantra sakti” yang bisa menghidupkan “roh” pembangunan yang sudah menjelang “ajal”, gagasan tentang partisipasi masyarakat terus berkembang dan meningkat intensitasnya akhir-akhir ini. Apalagi ketika wacana neoliberalisme vs ekonomi pro rakyat kembali mencuat saat pemilu presiden yang lalu.
Isu ini tetap relevan dan penting terus untuk didiskusikan ketika fenomena kemiskinan serta buruknya akses kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat miskin menjadi keprihatinan sebagian besar orang sebagai akibat teraleniasinya rakyat dari pusaran proses pembangunan
Meskipun, Indonesia sudah memiliki UU no 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) yang menjamin peran serta masyarakat dalam pembangunan, namun efektivitasnya dipertanyakan. Karena ketidakjelasan konstruksi partisipasi secara eksplisit yang mencerminkan kehendak rakyat dalam undang-undang tersebut, perencanaan partisipatif dinilai masih sebatas artifisial, kalau tidak dapat dikatakan gagal.
Inilah fakta umum yang barangkali banyak kalangan juga akan sependapat. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah : Bilakah atau akankah kita belajar dari pengalaman bangsa-bangsa?
Iklim Teknologi dan Gagalnya Transformasi IPTEK
Banyak kalangan berpendapat, jangan membandingkan teknologi di Indonesia dengan di Amerika karena tidak signifikan, bandingkan saja misalnya dengan Vietnam dan Thailand, Indonesia saat ini sudah mulai ditinggalkan.
Faktor Penentu
Pengalaman negara-negara maju seperti Amerika dan negara baru maju seperti Korea Selatan menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi berakar pada kemampuan teknologi dan inovasi yang dimiliki. Kemampuan teknologi yang tinggi telah memberikan kekuatan untuk bersaing dan peluang dalam kancah perdagangan internasional yang kompetitif. Sulit untuk dibantah bahwa kemampuan teknologi yang dimiliki oleh suatu bangsa akan sangat menentukan daya saing, sehingga semua negara di dunia berusaha untuk mengejar ketertinggalannya dalam penguasaan Iptek.
Keberhasilan negara-negara baru maju di Asia Timur tidak dapat diulang dengan mudah di negara berkembang tapi perlu diciptakan kondisi tertentu dan berupaya mengatasi masalah-maslah dalam pengembangan iptek.
Mengapa Indonesia sulit mengembangkan iptek hingga mampu mensejajarkan diri dengan negara lain dalam kawasan asia tenggara saja misalnya?. Banyak faktor yang mempengaruhinya, baik internal maupun eksternal
Salah satu yang faktor eksternal yang mempengaruhi proses transformasi iptek di Indonesia adalah Iklim teknologi. Beberapa alasan kurangnya daya dukung iklim teknologi di Indonesia antara lain karena akumulasi teknologi yang tidak signifikan, keterbatasan tenaga ahli di bidang Iptek, minimnya investasi dibidang iptek, sistem pengembangan iptek tidak efisien, serta struktur sosial yang masih tradisional
Sebuah kajian mengungkapkan bahwa variabel kuantitatif yang mempengaruhi antara lain PDRB total dan pendapatan perkapita, komposisi angkatan kerja, variabel kependudukan, kesehatan, pendidikan Iklim investasi, telekomunikasi, dan dunia kerja. Sedangkan variabel kualitatifnya dipengaruhi oleh sikap ilmuwan dan masayarakat terhadap perubahan, kualitas pelayanan kesehatan, kualitas iptek terhadap sistem pendidikan, dan orientasi iptek terhadap media massa . Jika demikian maka pengembangan Iptek di Indonesia tentu akan dapat tumbuh jika iklim teknologinya sudah cukup memadai.
Keterbatasan Sumber Daya dan Budaya Iptek
Masih terbatasnya sumber daya iptek tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7.
Selain itu rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan, dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2002. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan rasio serupa di ASEAN, seperti Malaysia sebesar 0,5 persen (tahun 2001) dan Singapura sebesar 1,89 persen (tahun 2000). Sementara itu menurut rekomendasi UNESCO, rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen. Kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan. Faktor-faktor ini pulalah yang besar kemungkinan menyebabkan tingginya angka kecelakaan di sektor transportasi yang melanda negara kita pada tahun-tahun belakangan ini.
Disamping itu Budaya bangsa secara umum masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekedar membeli teknologi “siap saji”. Sikap masyarakat menjadi semakin konsumtif karena sikap pemerintah yang justru sangat memanjakan kebijakan impor, mulai dai barang-barang manufaktur, elektronik sampai pada kebutuhan pokok seperti beras dan bahkan garam dapur
Sudah barang tentu, kondisi ini berakibat pada tidak optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna. Masalah ini dapat dilihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, seperti institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi yang dibutuhkan oleh industri-industri lokal.
Masih banyak faktor faktor penghambat lain misalnya keterkaitan kegiatan riset dengan kebutuhan nyata, kinerja kelembagaan litbang yang tidak maksimal, aktivitas riset yang masih terkesan “sekedarnya” dan pada akhirnya melengkapi segenap kekurangan dan ketertinggalan bangsa kita di dunia Iptek.
Seperti halnya judul sebuah film indonesia : Kejarlah daku, dikau kutangkap, kejarlah iptek maka kau akan terjebak didalamnya, namun persoalannya adalah untuk mengejar saja kita sudah tidak punya energi yang cukup, sehingga tentu saja kita akan tetap ketinggalan.
Langganan:
Postingan (Atom)