Sudah lama aku mengamati sebuah fenomena alam, sudah sejak remaja kuperhatikan dengan seksama “dedaunan yang menahan nafasnya”.
Dahulu, aku pernah mendapat sebuah cerita. Syahdan ketika sag surya bagun dari peraduannya tepat di hari pertama Idul Fitri, disitulah saat dimana semua unsur alam, manusia, binatang, tumbuhan dan alam semesta sejenak “hening cipta” dan tertunduk takjim atas hari yang amat keramat dan dihormati itu, utamanya umat muslim di seluruh muka bumi.
Bahkan sebuah lagu melantunkan lirik “dan daunpun menahan nafasnya” angin berhenti berhembus dan burungpun berhenti terbang sejenak.
Aku tidak tahu persis, apakah ini hanya sebuah mitology, legenda, atapun dongeng, dan sejak sat itu akupun mulai memperhatikan dan mencoba mencari tahu akan kebenaran cerita tersebut.
Pengamatanku yang pertama langsung memberi kesan “benar adanya”. Jam 07.00 pagi dimana segenap umat muslim berbondong ke Masjid untuk menunaikan shalat “Ied”, aku keluar rumah menatapi pohon-pohon dan suasana alam sekitar. Ya … daun-daun tak bergeming, angin tak bertiup sekalipun lirih, sinar surya hangat ramah, udara bersih cerah tak ada burung atau pun binatang lain tampak beraktifitas … … aku tertegun … takjub.
Pagi yang hening… nglanguut… segenap rasa nyaman dan tentram menyelimuti kalbu, sangat berbeda dengan hari-hari lainnya yang penuh ke-hiruk-pikukan hingar bingar. Sungguh …. Sebuah momen yang amat berharga dan patut disyukuri sebagai anugerah dari NYA.
Sebagai pribadi yang masih mentah, saat itu muncul berbagai pertanyaan dalam benakku, kira-kira apa yang menyebabkan itu? dan apa hubungannya Iedul Fitri dengan fenomena tersebut?, mengapa orang-orang itu harus pergi bersembahyang ke Masjid?, mengapa tiba-tiba wajah-wajah mereka beraura lembut dan ramah?, berbeda dengan keadaan sebelumnya. Senyum tulus, jabat tangan ikhlas mengukuhkan hari besar itu!..
Waktu terus berpacu, tahun demi tahun berlalu begitu cepat. Pengamatanku pada fenomena alam dan idul fitri tetap kulakukan, dan hingga saat ini fenomena itu tetap sama. Ketakjubanku juga tak berubah. Sejalan dengan semakin bertambahnya usia, sampailah aku pada sebuah “penafsiran” atas hubungan sebab akibat.
Barangkali memang ada kaitannya antara iklim dan kondisi alam semesta dengan sepak terjang perilaku manusia, interaksi antara dimensi mikro (manusia) dan dimensi makro (jagat semesta) begitupun sebaliknya.
Seringkali kita menyaksikan bencana alam berat maupun ringan melanda tanah air, tidak sedikit korban jiwa dan harta benda telah melarutkan kita pada derita dan sengsara, berapa banyak sudah darah tertumpah di bumi pertiwi ini, belum kering rasanya airmata duka tsunami di aceh dan gempa di Bantul, kini giliran Bengkulu dan Sumatera Barat dimakan gempa yang merusak sendi-sendi kehidupan.
Ada yang melihat melalui kacamata ilmiah teknologi bahwa bencana adalah fenomena wajar dari bumi yang senantiasa menggeliat dan merubah wajahnya dari jaman ke jaman. Ada yang melihat dari kacamata spiritual, bahwa Tuhan sedang murka oleh ulah manusia yang selalu berbuat dosa, ada yang menterjemahkan bencana secara metafisis, bahwa hubungan alam dengan manusia sudah tidak harmonis lagi. Dan masih banyak lagi perspektif manusia dengan tafsirnya sendiri sendiri.
Begitupun saat hari nan Fitri jatuh di hari pertama … alampun bagai bernafas lega ketika manusia berada dalam kondisi batin pada level terendah, dimana sikap amarah, angkara murka, dendam, iri, dengki, nafsu, kebencian dan berbagai sifat negatif lainnya secara sadar sejenak dilepaskan dan dibebaskan dari belenggu jiwa-jiwa terpenjara.
Kondisi batin demikian tersebut nyaris berlaku pada semua umat manusia pada saat yang sama. Hal ini berakibat pada situasi “panas” dimensi mikro manusia menurun drastis, sejuk, lembut dan bersahabat dimana pada akhirnya langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada dimensi makro alam semesta yang mereponnya dengan iklim yang bersahabat pula…. tenaaannng… hingga “daunpun menahan nafasnya” …..
Jika saja, setiap hari adalah hari yang fitri, jika saja setiap hari adalah hari yang penuh maaf dan ampunan, jika saja setiap hari adalah harinya seribu bulan “Lailatul Qodar”, jika sajaaa…
Rekan dan sahabat … ini hanyalah sebuah penafsiran dari keingintahuan sebuah jiwa yang miskin dan nyaris sekarat dimakan arus besar jaman, yang mencari Tuhan dengan caranya sendiri, cara yang bodoh, cara yang mungkin keliru dan sesat… menurut hukum dan nilai-nilai universal… Ya Tuhan … ampunilah aku orang berdosa.
SELAMAT IDUL FIRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar