Iklim Teknologi dan Gagalnya Transformasi IPTEK
Banyak kalangan berpendapat, jangan membandingkan teknologi di Indonesia dengan di Amerika karena tidak signifikan, bandingkan saja misalnya dengan Vietnam dan Thailand, Indonesia saat ini sudah mulai ditinggalkan.
Faktor Penentu
Pengalaman negara-negara maju seperti Amerika dan negara baru maju seperti Korea Selatan menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi berakar pada kemampuan teknologi dan inovasi yang dimiliki. Kemampuan teknologi yang tinggi telah memberikan kekuatan untuk bersaing dan peluang dalam kancah perdagangan internasional yang kompetitif. Sulit untuk dibantah bahwa kemampuan teknologi yang dimiliki oleh suatu bangsa akan sangat menentukan daya saing, sehingga semua negara di dunia berusaha untuk mengejar ketertinggalannya dalam penguasaan Iptek.
Keberhasilan negara-negara baru maju di Asia Timur tidak dapat diulang dengan mudah di negara berkembang tapi perlu diciptakan kondisi tertentu dan berupaya mengatasi masalah-maslah dalam pengembangan iptek.
Mengapa Indonesia sulit mengembangkan iptek hingga mampu mensejajarkan diri dengan negara lain dalam kawasan asia tenggara saja misalnya?. Banyak faktor yang mempengaruhinya, baik internal maupun eksternal
Salah satu yang faktor eksternal yang mempengaruhi proses transformasi iptek di Indonesia adalah Iklim teknologi. Beberapa alasan kurangnya daya dukung iklim teknologi di Indonesia antara lain karena akumulasi teknologi yang tidak signifikan, keterbatasan tenaga ahli di bidang Iptek, minimnya investasi dibidang iptek, sistem pengembangan iptek tidak efisien, serta struktur sosial yang masih tradisional
Sebuah kajian mengungkapkan bahwa variabel kuantitatif yang mempengaruhi antara lain PDRB total dan pendapatan perkapita, komposisi angkatan kerja, variabel kependudukan, kesehatan, pendidikan Iklim investasi, telekomunikasi, dan dunia kerja. Sedangkan variabel kualitatifnya dipengaruhi oleh sikap ilmuwan dan masayarakat terhadap perubahan, kualitas pelayanan kesehatan, kualitas iptek terhadap sistem pendidikan, dan orientasi iptek terhadap media massa . Jika demikian maka pengembangan Iptek di Indonesia tentu akan dapat tumbuh jika iklim teknologinya sudah cukup memadai.
Keterbatasan Sumber Daya dan Budaya Iptek
Masih terbatasnya sumber daya iptek tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7.
Selain itu rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan, dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2002. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan rasio serupa di ASEAN, seperti Malaysia sebesar 0,5 persen (tahun 2001) dan Singapura sebesar 1,89 persen (tahun 2000). Sementara itu menurut rekomendasi UNESCO, rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen. Kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan. Faktor-faktor ini pulalah yang besar kemungkinan menyebabkan tingginya angka kecelakaan di sektor transportasi yang melanda negara kita pada tahun-tahun belakangan ini.
Disamping itu Budaya bangsa secara umum masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekedar membeli teknologi “siap saji”. Sikap masyarakat menjadi semakin konsumtif karena sikap pemerintah yang justru sangat memanjakan kebijakan impor, mulai dai barang-barang manufaktur, elektronik sampai pada kebutuhan pokok seperti beras dan bahkan garam dapur
Sudah barang tentu, kondisi ini berakibat pada tidak optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna. Masalah ini dapat dilihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, seperti institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi yang dibutuhkan oleh industri-industri lokal.
Masih banyak faktor faktor penghambat lain misalnya keterkaitan kegiatan riset dengan kebutuhan nyata, kinerja kelembagaan litbang yang tidak maksimal, aktivitas riset yang masih terkesan “sekedarnya” dan pada akhirnya melengkapi segenap kekurangan dan ketertinggalan bangsa kita di dunia Iptek.
Seperti halnya judul sebuah film indonesia : Kejarlah daku, dikau kutangkap, kejarlah iptek maka kau akan terjebak didalamnya, namun persoalannya adalah untuk mengejar saja kita sudah tidak punya energi yang cukup, sehingga tentu saja kita akan tetap ketinggalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar