Kamis, 19 Agustus 2010

CERMIN RETAK (catatan perjalanan)

Dua orang anak usia sekitar 6-7 tahun berlarian membuntuti penumpang yang baru turun dan berjalan di jembatan bus way, lalu bernyanyi dibelakangnya dengan suara parau sumbang sambil memukul-mukulkan alat musik sederhana buatan sendiri dari kayu dan tutup botol, crek…kecrek, kecreek… begini syairnya … Sungguh terpaksa aku menyanyi mengharapkan tuan bermurah hati……

Pemandangan seperti itu juga lazim hampir di setiap lampu merah di jalan-jalan kota Jakarta dan kota besar lainnya. Saking seringnya kita melihat mereka, sampai-sampai kita tak hirau sama sekali pada mereka, mengganggap bahwa semua itu tidak ada dan hanya gangguan belaka.

Coba luangkan sedikit perhatian kita untuk mengamati keberadaan mereka dari hidup kesehariannya, ada suatu hubungan sebab akibat atas keberadaan mereka anak-anak terlantar. Bagi mayarakat mapan keberadaan anak-anak ini mungkin tidak pernah terpikirkan, amat jauh dan nyaris tak tersentuh, namun sesungguhnya adalah mereka adalah bagian dalam kehidupan kita juga.

Sehari-harinya, anak-anak ini banyak berkeliaran di jalan-jalan raya kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan. Kehadiran mereka memang lebih sering mengganggu daripada membantu. Mereka sering merepotkan pengguna jalan dan lalu lintas dalam menjajakan dagangannya di lampu-lampu perempatan jalan, mereka juga sering melakukan tindakan kriminal seperti memaksa, menggores cat mobil, bahkan sampai menodong.

Kalau mau jujur, sebenarnya kita lebih banyak “sebelnya” daripada simpatinya. Keberadaan mereka juga lebih sering dianggap sebagai sampah masyarakat dan menjadi musuh aparat yang seringkali meng-uber-uber dan memnggebuk mereka supaya enyah dari pandangan mata.

Dalam melihat persoalan ini pemerintah mestinya dapat lebih bersikap arif dan jujur dalam menangani anak-anak ini. Harus disadari, bahwa keberadaan mereka sesungguhnya adalah buah dari kebijakan pemerintah itu sendiri. Ketidak-becusan manajemen ke-pemerintah-an, baik dalam hal fisik, lingkungan maupun dalam konteks sosial juga menjadi salah satu penyebabnya, karena mekanisme pasar dalam aktivitas industrialisasi yang tidak disertai kontrol sosial. Perencanaan pembangunan perkotaan seringkali meng-alokasi-kan sumber daya secara tidak adil, dan tidak melayani seluruh kepentingan masyarakat. Akibatnya, karakteristik daerah perkotaan seringkali hanya dapat dimengerti dalam konteks konflik. Hal ini menjadi sebuah kewajaran dari kebijakan politik demokrasi kapitaslis, monopoli konglomerasi yang yang tidak adil dan kemaruk

Kegagalan Kebijakan Politik

Untuk memacu pertumbuhan dan pembangunan, hingga saat ini pemerintah mungkin masih percaya bahwa akan terjadi percepatan pembangunan melalui sektor bisnis dan industri, yang berdampak pada masyarakat lapisan bawah. Banyak sarjana menduga bahwa meskipun hanya selapis saja golongan kaya, cepat atau lambat akan terjadi juga Tricle-down effect (efek menetes), kurang disadari bahwa kenyataannya hanya semakin memperlebar jurang si kaya dan si miskin dengan berbagai permasalahan sosial didalamnya. Tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan akhirnya hanya dilihat secara fisik seperti pusat-pusat bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang saja, sedangkan rakyat miskin di perkotaan hanya mampu menerima tetesan yang jauh dari memadai.

Akibat sangat kecilnya tetesan atau peluang kesempatan bekerja dan mencari nafkah, masyarakat miskin menjadi sangat "kreatif' dalam merebut "pasar'' guna mempertahankan hidup. Karena wadah-wadah ruang kota untuk mencari makan hanya dimonopoli oleh pasar-pasar yang megah, plaza-plaza pencakar langit, pusat-pusat bisnis modern, yang kesemuanya adalah buah dari permufakatan politis (tersembunyi), maka merekapun, rakyat kecil yang miskin hanya punya peluang "berbisnis'' di jalanan, tidak ada pilihan lain.

Masyarakat miskin di perkotaan seringkali mewariskan anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dan pendidikan yang memadai hingga merekapun sejak usia dini sudah terlantar dan harus menentukan nasibnya sendiri, menghidupi diri sendiri dengan berbagai cara. Mereka inilah anak-anak jalanan yang merupakan buah dari kebijakan ekonomi politik semacam itu, dan merekapun jelas tidak memiliki kekuatan apapun, dan jika ini berlangsung terus tanpa ada harapan dan kemungkinan untuk merubah nasib, bukan mustahil akan melahirkan bibit "urban proletariat” dan mengancam stabilitas sosial.

Akibat tidak disadari atau barangkali tak mau menyadari bahwa anak-anak terlantar ini adalah buah dari kebijakan politik-ekonomi pemerintah itu sendiri, yang muncul adalah sikap arogan dan masa bodoh. Anak-anak jalanan seringkali diuber-uber dan tidak jarang digebuki. Padahal persoalannya jelas, orang-orang tua mereka adalah kaum urban yang tidak memiliki keterampilan yang datang ke kota karena memang kota menjanjikan segalanya, dan bahkan bukan sedikit dari anak-anak tersebut telah berani meninggalkan desa-desa karena di desa pun mereka sudah terlantar, sedangkan desa juga tidak dapat menjanjikan harapan dan masa depan.

Karena tidak memiliki sumber daya baik materiil maupun intelektual, mental anak-anak terlantar ini umumnya bersifat pasif, responsif dan dalam pertumbuhannya terbentuk sifat dan perilaku agresif, eksploitatif, dan memberontak. Jalan hidup mereka seakan ditentukan oleh golongan yang lebih dominan, berdasarkan konsep “destiny” atau takdir. Nasib mereka seakan-akan tidak lagi ditentukan oleh Tuhan, tetapi oleh “social order” buatan manusia, seperti yang sering dikatakan oleh “golongan mapan”.

Akibat lebih jauh, potensi dan kemampuan anak-anak jalanan ini tidak dapat berkembang karena terhimpit oleh “image” dari dirinya, dan tekanan dari aparat. Kreativitas, pengambilan inisiatif, semangat berwiraswasta, dan sebagainya, pada akhirnya binasa oleh pelakuan yang tidak adil.

Pada umumnya anak jalanan tidak di-wongke atau dianggap nobody child, terutama oleh aparat penertiban. Buah dari perlakuan ini mempengaruhi persepsi anak-anak tersebut, dengan citra atau image yang penuh pengingkaran, hingga timbul rasa rendah diri (inferioritas). Pada sisi lain persepsi ini melahirkan sikap inferior dan mendorong mereka untuk membentuk kesetiakawanan antarsesama, tolong-menolong (baik untuk kebaikan maupun kejahatan), dan tentu saja memberontak.

Kondisi ini semakin berat karena mereka harus bekerja keras sepanjang waktu tanpa mengenal waktu istirahat, maka hampir dapat dipastikan kualitas hidup mereka teramat rendah.

Cermin retak

Sederhana saja, kekerasan akan menghasilkan kekerasan juga. Pendekatan lintas disiplin dan pemikiran serta melibatkan berbagai pihak merupakan upaya yang baik. Namun harus disadari, selama “ideologi” pembangunan ekonomi terutama tidak memihak wong cilik, kehadiran anak-anak yang menggerayangi jalan-jalan raya tetap tidak akan dapat dikurangi apalagi dihapuskan. Mereka merupakan buah yang wajar dari ketidakadilan. Lewat pendekatan manusiawi, mereka diharapkan akan relatif mudah diarahkan pada peningkatan kualitas hidup yang makin baik.

Secara individu ataupun kelompok, kepedulian golongan mapan yang setiap hari naik mobil mewah, makan-makan di restoran eksklusif dan berpenghasilan fantastis tentunya akan sangat membantu membantu mereka agar lebih “survive” dalam menghadapi hidup yang keras di kota-kota besar, atau syukur-syukur mau mengambil mereka sebagai anak angkat atau menjadi ayah angkat atau apapunlah namanya. Bagi golongan ini, uang receh 5.000 perak, sama sekali tidak bernilai, dibandingkan dengan makan siang mereka di restoran bisa menghabiskan jutaan rupiah.

Pasti timbul komentar klasik dan sangat umum yang sering dilontarkan seperti “Ah itu tidak mendidik” !!! Namun jika dibalik pertanyaanya, kapan sih kita pernah mendidik mereka ??? padahal kita juga tak pernah memberi mereka meski hanya untuk sekadar makan. Kita memang sering bersikap arogan bukan ??

Sekali lagi, persoalan ini bukanlah suatu pilihan antara mendidik dan tidak, atau antara pilihan mereka mengganggu dijalanan atau tidak. Persoalan pokoknya adalah keterbatasan kemampuan bagi mereka meski untuk kebutuhan yang paling dasar sekalipun, sebagaimana telah diceritakan diawal tulisan ini, Siapa sih yang mau dan bersedia bekerja di jalanan kalau memang ada pilihan lain yang lebih baik, kalau tidak terpaksa (atau dipaksa keadaan).

Semoga ini dapat menjadi sebuah refleksi dan renungan dalam menyambut HUT-RI ke 61 untuk lebih mampu melihat lebih dalam lagi keberadaan merebaknya anak-anak terlantar yang berkeliaran di jalan-jalan kota-besar saat ini. Anak-anak itu juga bagian dari masa depan bangsa, namun keberadaannya bagai cermin, kendati hanya sebuah cermin retak… yang hanya mampu memantulkan wajah buruk kita (bangsa) sendiri.

Marilah belajar menerima keberadaan mereka, dan kalau sudah dapat menerima, besar kemungkinan juga akan dapat belajar mencintai mereka, tanpa syarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar